Pengalaman water birth, perempuan jelang 34 tahun

Pada awalnya, saya mengamini ide dokter untuk melakukan operasi caesar jika tak kesampaian melahirkan normal. Namun, proses kelahiran enam ekor anjing kampung mengantarkan pada ide gentle birth – water birth.

Saya nikah di usia yang telat, kata orang. Umur 32 tahun, di penghujung tahun 2010.

Saat dinyatakan hamil ketika umur menjelang 33 tahun, saya terperanjat. Rasanya terlalu cepat. Tapi tak baik menyangkal rezeki, karena anak adalah anugrah. Jadi, tentu saja… alhamdulillah.

Sebagai wujud bersyukur, saya berusaha tak lalai. Sejak medio 2011 saya rutin periksa. Dokter langganan saya bertugas di sebuah rumah sakit besar di bilangan Jakarta Barat dan rupanya cukup kondang. Ongkos sekali periksa, sekitar setengah juta sekalian vitamin. Si bayi diperkirakan lahir awal Februari 2012.

Nyaman dengan si dokter yang sabar meladeni banyak pertanyaan serta  lokasi rumah sakit yang tak jauh dari rumah, membuat saya setia.  Tak sibuk cari opini kedua, jadilah periksa ke dokter itu di awal bulan menjadi semacam ritual. Kami – saya dan suami- menikmati memandangi gerak gerik si kecil lewat USG meski tak pernah sekalipun mengabadikannya. Saya tak minum susu untuk ibu hamil karena tak suka baunya dan percaya masih banyak sumber nutrisi di luar susu. Saya gampang mual dan muntah gila-gilaan, tapi berkeras untuk makan apa saja yang saya percaya banyak manfaat. Buah dan sayur, terutama. Lalu diselingi crackers. Saya nyaris makan apa saja kecuali daging-dagingan yang sungguh-sungguh tak memancing selera dan memang tak bisa ditelan.

Intinya saat itu, semua berjalan seperti normal. – Normal yang saya yakini saat itu ialah: rutin cek ke dokter sebulan sekali dan bersiap dengan proses melahirkan di rumah sakit, termasuk kemungkinan caesar. Dokter itu tak anti kelahiran normal namun merekomendasikan caesar. Dan saya pun tak mendebat. Siap-siap mental, siap-siap uang.

Hingga kemudian, Cincinnati Markonah, anjing kampung yang saya adopsi, melahirkan.

Cincin melahirkan enam anaknya pada suatu pagi di akhir pekan terakhir November.  Malam sebelum melahirkan, ia wira wiri mencari tempat. Plus menjadi lebih galak kepada dua anjing teman mainnya: Trotsky dan Leci.

Saya, dengan perut membesar di usia kandungan masuk bulan ke-7,  cuma mengamati. Ini kali pertama saya punya anjing dan ia akan melahirkan. Saya tak tahu banyak dan memutuskan menjadi pengamat saja. Cincin pasti lebih tahu.

Lalu subuh berakhir, dan ia melahirkan satu anak anjing dengan tenang. Entahlah, saya tak dengar apa-apa saat ia melahirkan. Tak berisik. Hingga suami saya, yang saat itu baru pulang subuh akibat deadline, kemudian berteriak, “Cincin punya anak! Cincin punya anak!”

Lantas satu per satu anaknya lahir hingga komplit enam ekor menjelang pukul 7 pagi. Tenang. Diam.

Dan entah kenapa, saya begitu iri dengan ketenangannya. Entahlah, saat itu tiba-tiba saya merasa: proses melahirkan harusnya proses personal antara ibu dan si bayi. Juga dibantu tenaga ahli dan disaksikan suami.

Begitulah, seekor anjing melahirkan begitu menginspirasi saya.

Meski begitu saya tak lantas gerak cepat. Otak dan hati butuh proses mengendapkan inspirasi tersebut, meraba-raba seperti apa implementasinya. Ego sesat berkata: masa manusia terinspirasi hewan najis? Haha!

Tapi nyatanya, kejadian itu membuat saya meyakini satu hal:  saya ingin melahirkan sealami yang mungkin bisa saya lakukan. Entah bagaimana caranya.

Akhir Desember, saya baru bergerak. Mencari informasi kesana kemari. Dan makin hari, makin percaya pada tubuh sendiri. Ada keyakinan yang timbul:  apapun caranya, si bayi tahu caranya lahir ke dunia ini. Saya percaya pada bayi saya, pada kecerdasannya dan pada kehendaknya.

Setelah itu, semua jalan terbuka.

Tiba-tiba melalui social media, saya belajar konsep gentle birth di sebuah grup Facebook. Lalu membeli buku karya Bidan Yessie. Lalu menonton sejumlah video tentang gentle birth.

Tiba-tiba, masih melalui social media, saya tahu ada klinik water birth dengan konsep gentle birth di Klaten, Ubud dan Bandung. Yang paling baru, ada di Bandung dan hanya berkapasitas dua kamar saja (saat itu). Artinya, jika klinik itu punya dua pasien pada tanggal 4-10 Februari 2012 yang diperkirakan sebagai hari lahir bayi saya, maka wassalam. Tak ada tempat.

Seingat saya, tak banyak kekhawatiran saat itu. Saya tanamkan pada diri: bayi ini akan memilih sendiri caranya hadir di muka bumi. Saya juga tak banyak bercerita mengenai rencana ini kepada keluarga besar, termasuk orang tua. Saya terlalu malas menjelaskan, juga engan bersitegang, dan tak ingin menerbitkan kekhawatiran. Cuma suami yang tahu dan ia membebaskan.

Kelindan kejadian kemudian mengantarkan kami ke Bandung. Ternyata jodohnya ada di klinik Galenia MCC, klinik baru yang memberi layanan maksimal. Tarifnya saat itu sekitar Rp3 jutaan. Nilainya? PRICELESS!

Kami tiba disana Minggu pagi. Awalnya, kami berencana ke Bandung di hari Sabtu. Tapi deadline Jumat selalu membuat suami pulang subuh dan rasanya ia terlalu lelah. Berbisik pelan saya bilang ke si jabang bayi, “Dek, besok aja ya ke Bandungnya.”

Dan seperti biasanya, bayi yang saya nilai cerdas bukan kepalang meski masih dalam rahim, seperti sepakat. Seharian saya tak merasakan mulas, meski sehari sebelumnya terasa intens per tiga jam dan mereda jika saya bergerak- entah berjalan atau duduk di bola gym-

Minggu pagi kami berangkat. Saya masih sempat keliling Yogya Dept Store di Jalan Riau, Bandung. Masih sempat beli kimono dan baju tidur. Plus makan di food court meski tak terlalu berselera.

Jelang sore, saya masuk kamar. Lantas semuanya berjalan menyenangkan.

Di Galenia, water birth yang saya alami jelang usia 34 tahun menyisakan kenangan indah. Pijat di seluruh punggung saat gelombang cinta – a.k.a kontraksi hebat- , berendam dalam air hangat sekitar pukul 04.30 WIB, teriak seru -bukan sakit, tapi lebih sebuah ekspresi- sambil mendengarkan gubahan Beethoven. Cuma ada musik. Tak ada lalu lalang tenaga medis seperti yang saya syaratkan saat membuat birth plan. Ada 1 bidan, ada 1 dokter yang berjaga dan ada dua suster yang memijit punggung saya. Juga suami yang terlihat santai.

Banyak orang, total 6 orang termasuk saya. Tapi tak riuh, tak menyebalkan, tak menakutkan. Saya ingat saya sempat tertidur meski sudah masuk bukaan ke-10. Lalu si bocah lahir 05.20 WIB. tanpa tangisan, hanya ekspresi senyum kecil sambil mengedipkan mata dan suara suara pelan. Seperti mengigau. Air mata pun menetes. Rasanya bangga sekali sama makhluk kecil ini. Yang begitu pintar bisa lahir sendiri. Bahagia,  tentu saja. Senang yang membuncah di dada.

Lalu saya berdiri dari air. Ternyata perempuan selesai melahirkan itu bisa berdiri tegak begitu saja, kemudian bergerak sekitar lima langkah, keluar dari kolam plastik dan pindah ke dipan sambil menggendong si bayi dengan tali pusar yang masih tersambung. Tenang. Diam. Saat itu, sekonyong-konyong saya ingat Cincin.

Sambil tiduran di dipan, saya baru tahu bahwa ari-ari harus dikeluarkan. Saya tengok kolam plastik tempat saya melahirkan. Tak ada banyak darah. Air masih terlihat bening.

Sebentar berbaring, mungkin sedikit mengejan, kemudian air-ari keluar, lalu bidan memutuskan tali pusar. Niat lotus birth tak tercapai, tapi saya santai. Tali pusar si kecil kelewat pendek sehingga repot bila membiarkannya terputus alami. Si bayi tiduran di atas dada. Katanya, IMD. Tapi si bayi terlihat malas dan masih ngantuk. Ia tidur. Tak rewel, tak menangis. Rasanya damai.

Pendapat bahwa bayi sehat ialah bayi yang menangis keras saat lahir, makin seperti mitos buat saya. Anak saya tak menangis karena merasa tak terganggu. Dalam rahim ia berkubang di dalam cairan hangat. Saat lahir, ada media air hangat. Wajar jika ia tak kaget dan tak menangis keras. Hanya lenguh. Suara halus bayi yang dibangunkan dari lelap.

Lalu kami tertidur berdua. Saya tak ambil pusing IMD tak berjalan lancar, bahkan jauh dari kata sukses.

Kemudian jam 9 pagi, ibu mertua datang menjenguk  dan kami ditawari mau sarapan apa. Mau nasi timbel atau soto, atau mungkin ada keinginan lain? Saya bilang saat itu, saya bisa makan apa saja. Asal banyak.

Ya, melahirkan itu bikin lapar, jenderal!

Dan segera setelah mandi –saya bisa bangun  jalan ke kamar mandi dengan lancar meski pelan– sepiring nasi soto tandas tak bersisa. Memandangi makhluk kecil dalam dekapan saya, rasanya masih tak percaya. Alam ini, dengan semua peristiwa yang saling berikatan, sungguh luar biasa.

Hingga siang itu, air susu saya belum keluar juga. Kata dokter, tenang saja. Bayi tak akan kelaparan, ia masih punya stok makanan dalam tubuhnya. Bahkan hingga tiga hari.

Lalu saya pijat untuk stimulasi ASI. Masih juga tak ada setetespun ASI.

Lalu saya sibuk menenangkan diri dan membangun sugesti. Hingga pada suatu pagi keesokan hari, si bayi kelaparan dan bereaksi saat ditidurkan di dada. Dia mereguk air kehidupan. Sebentar, tapi terlihat kenyang. Lambung bayi masih kecil, wajar jika tak menyedot lama-lama.

Pagi itu, sekitar 30 jam sejak melahirkan, saya cuma bisa bahagia akibat setetes ASI yang mengotori kimono batik bernuansa biru.  Masih teringat-ingat proses melahirkan yang menyenangkan. Suami yang ketiduran sepanjang bukaan 1 hingga 10 dan baru melek menemani saat saya bersiap melahirkan, hangatnya kamar bernuansa ungu hingga wangi aromaterapi mawar.

Ya, cuma ada indah. Dan saya masih bisa bercerita panjang sekali tentang semua ini, bahkan hingga saat ini.

 

 

3 respons untuk ‘Pengalaman water birth, perempuan jelang 34 tahun

  1. trims tulisannya, menginspirasi…saya berencana menjalani water birth untuk anak yang kedua karena proses normal yang pertama lumayan ‘horror’..lagi searching untuk wilayah pekanbaru rumah sakit yang punya water birth. smoga berjalan lancar…amin.

Tinggalkan komentar